Thursday, June 29, 2006

Diculke ndhase, digondeli buntute: "Kita berdiri di negri yang (katanya) menjunjung tinggi hak hakiki setiap pribadi. Kita menghirup udara negri yang (katanya) menjunjung tinggi kemanusiaan. Dan kita bernaung di bawah atap langit negri yang (katanya) berpaham demokrasi. Tapi faktanya? Diskriminasi masih saja terjadi. Demokrasi, kesetaraan dan kemanusiaan menjadi kata yang tanpa makna."
Indonesian Global Healing: "Konferensi Internasional Global Healing II Indonesia Session Ubud Bali, 3-8 Mei 2006 Laporan: Pipit Ambarmirah Pada tanggal 3-8 Mei 2006 berlangsung acara Global Healing di Bali yang diikuti oleh peserta dari seluruh dunia. Ini adalah acara Global Healing kedua yang dilakukan di Indonesia, tetapi untuk sesi khusus Indonesia adalah yang pertama kali dan dikoordinir oleh P3I (Pusat Partisipasi Perempuan Indonesia). Sesi Indonesia dijadwalkan pada tanggal 5 dan 6 Mei 2006. Peserta dari Indonesia berjumlah 19 orang sudah termasuk panitianya. Peserta dari Indonesia berasal dari berbagai propinsi misalnya Yogyakarta, Jakarta, Aceh, Ambon, Atambua, Papua, Sulawesi, Sumatra, Bali dan lain-lain."
Peran Ulama: "PERAN ULAMA DALAM REKONSILIASI BANGSA Salahuddin Wahid Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Kalau kita dilukai atau disakiti orang lain, naluri kita bangkit untuk membalasnya. Kalau bisa luka balasan lebih dalam dan lebih parah daripada apa yang kita derita. Luka itu baru sembuh kalau si penjahat menerima hukumannya. Perasaan dendam itu terus berada didalam diri kita selama si penjahat tidak atau belum mendapat hukuman yang setimpal."
Living with a spectre of the past: "Traumatic Experiences among Wives of Former Political Prisoners of the ‘1965 Event’ in Indonesia Budiawan SanataDharmaUniversity Introduction Like the end of most authoritarian rulers elsewhere, the fall of Suharto in Indonesia has opened an opportunity for the survivors of the past political violence to break their silence publicly. Of those who have taken the chance to articulate their sense of self are former political prisoners of the ‘1965 Event’ (or eks-tapol in the popular Indonesian term). They have expressed their claim as victims, instead of perpetrators, of the past tragedy. Such an expression appears in memoirs, autobiographies or other forms of self-narrative booming since several months after Suharto stepped down in May 1998, [1] and the formation of some organizations among them. [2] The primary objective of these self-articulations is to seek a public recognition of their truth claims of the past, in order to release their burden of the past."
Pengaduan ke Komnas Perempuan: "PENGADUAN PEREMPUAN KORBAN TRAGEDI 1965 KEPADA KOMISI NASIONAL ANTI-KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Jakarta, 29 Mei 2006 Para Anggota Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan yang kami hormati, Pertama-tama kami ucapkan terimakasih atas kesediaan Para Komisioner menerima delegasi kami pada hari ini."
Mandiri Bangun Kembali: "Posko Mandiri Bangun Jogjakarta Syarikat Indonesia Perum. Demakan Baru TR III/757 Yogyakarta Telp. 0274 620247 www.syarikat.org BANGKIT MANDIRI BANGUN KEMBALI “Membangun kemandirian, bersama membangun rumah sendiri”"