Sunday, July 27, 2008

ok

Sunday, January 28, 2007

SEJARAWAN BAMBANG PURWANTO, Dan SEJARAH KITA.
APA ITU SEJARAH?

* * *

Kemis, 11 Januari 2007, Mintardjo, Ketua Yayasan Sapu Lidi, Leiden,
lewat tilpun mengingatkan aku mengenai rencana mereka bersama PPI
Leiden, untuk menyelenggarakan BEDAH BUKU-nya Prof. Dr. Bambang
Purwanto MA. Bukunya berjudul 'Gagalnya Historiografi
Indonesiasentris!

?!'. Mengenai adanya dua tanda baca pada akhir
judul, yaitu tanda-baca tandatanya (?), disusul dengan tand-baca
tanda seru (!), dari kalangan yang hadir dalam bedah buku itu, ada
yang mempertanyakannya. Menurut Purwanto, memang dibuat demikian,
karena apa yang dinyatakan mengenai 'Gagalnya Historiografi
Indonesiasentris', betul ada yang mempertanyakannya. Maka dicatatlah
pendapat tsb. Dengan membubuhkan tanda-baca tandatanya. Karya ilmiah
Bambang Purwanto tsb baru saja terbit di Jakarta .

Walhasil, tak peduli masih menghembusnya angin taufan dan suhu cukup
dingin, diantar putriku dengan mobilnya ke stasiun keretapi
Duivendrecht, meluncurlah kereta dari situ ke Leiden. Kuperlukan
benar untuk bisa hadir dalam 'Bedah Buku' Bambang Purwanto. Kegiatan
pagi itu dilangsungkan di 'Faculteit der Sociale Wetenchappen',
Universitas Leiden. Letaknya di seberang stasiun keretapi Leiden
Centraal. Perhatian cukup besar, ruangan tempat kami berkumpul di
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Leiden itu, penuh.

Mungkin ada baiknya, disamakan dululah pemahaman, mengenai apa
sebenarnya, apa yang dimaksud dengan kata h i s t o r i o g r a f i
itu. Secara umum penjelasannya, kiranya demikian: Historiografi itu
adalah salah satu cabang dalam ilmu pengetahuan yang mempelajari
praktek ilmu sejarah itu. Bentuknya a.l mempelajari metodologi dan
perkembangan sejarah sebagai suatu disiplin akademik. Seperti yang
banyak bisa dilihat dan ditulis sekarang ini historiografi merujuk
pada bagian tertentu dari penulisan sejarah. Misalnya
histostoriografi Indonesia mengenai 'G30S', pada periode Orba yang
merujuk ke pendekatan metodologis dan ide mengenai sejarah gerakan tsb
yang telah ditulis selama periode itu, dst.

* * *

APA ITU SEJARAH ?

Mengenai apa yang dinamakan sejarah itu, apakah penulisan sejarah itu
bisa obyektif, apakah bisa bebas dari subyektifitas penulisnya, hal
itu sudah sejak lama menjadi tema diskusi bahkan perdebatan yang
menarik dan memang perlu dipelajari terus. Bukan saja di kalangan
cendekiawan, tetapi juga di kalangan yang lebih luas, seperti pers dan
para politisi.

Lebih seabad yang lalu (Oktober 1896), seorang pakar sejarawan
Inggris, Lord Acton namanya, menulis laporan kepada Syndics dari
Cambridge University Press. Di situ ditulisnya a.l bahwa. pada suatu
ketika adalah mungkin untuk menghasilkan 'ultimate history'. Karena,
demikian ditulisnya, meskipun 'ultimate history' tidak dapat dimiliki
dalam generasi ini, -- tapi kita bisa menghasilkan suatu 'sejarah
konvensionil'. Di saat semua informasi bisa kita raih, dan setiap
problim sudah bisa dipecahkan.

Namun, kira-kira enampuluh tahun kemudian, yaitu sesudah laporan Lord
Acton yang menyatakan kemungkinan menghasilkan suatu 'ultimate
history', sejarawan Prof Sir George Clark, mengomentari bahwa
sejarawan-sejarawan generasi kemudian tidak mengharapkan prospektif
demikian itu. Mereka itu menganggap bahwa, hasil karya mereka akan
dilampaui oleh sejarawan yang menyusul kemudian. Demikianlah akan
berlangsung tak henti-hentinya.

Sejarawan yang mucul kemudian menganggap bahwa pengetahuan mengenai
masa lampau dilahirkan oleh lebih dari satu pemikiran-manusia; hal
itu telah 'diproses' oleh mereka itu. Dan oleh karena itu, tidak
mungkin ia terdiri dari elmen dan atom-atom yang tanpa kepribadian,
yang tak bisa diubah oleh siapapun . . . .

Maka tanya salah seorang sejarawan terkenal lainnya EH Carr: Bila kita
berusaha menjawab pertanyaan 'APA SEJARAH ITU', maka jawab kita adalah:

Disadari atau tidak, jawabannya mencerminkan posisi kita sendiri pada
waktu itu, dan merupakan jawaban terhadap masalah yang lebih luas.
Yaitu pandangan tentang masyarakat yang yang bagaimana yang diambil
dimana kita hidup.Macmillan, 1961>

* * *
Tema sejarah, apalagi Sejarah Indonesia, selalu menarik, dan
merupakan suatu kepedulian bagiku. Apalagi kali ini yang menulisnya
adalah sejarawan generasi muda yang kukenal orangnya: Prof Dr Bambang
Purwanto MA. Dua tahun yang lalu sejarawan muda ini, dikukuhkan
menjadi Guru Besar Sejarah Universitas Gajah Mada.

Selama berlangsungnya Bedah Buku, aktivis penyelenggara tampak sibuk
membuat catatan dan merekam uraian Bambang Purwanto dan tanggapan yang
diberikan terhadapnya. Juga diskusi mengenai uraian Bambang dan yang
lainnya, dicatat, difoto dan direkam. Alangkah baiknya jika
penyelenggara Bedah Buku ini, menyusun kembali semua catatan dan
rekaman tsb dengan rapi, mengeditnya kemudian menerbitkannya. Pasti
akan disambut para pencinta sejarah.

Tulisanku ini jelas tak akan mampu untuk menceriterakan secara
lengkap, apa yang berlangsung dalam Bedah Buku tsb. Hanya sekadar
memberikan gambaran yang sangat umum. Untuk memberitakan dan
memperkenalkan kepada pembaca mengenai kegiatan ilmiah yang penting
dan seryogianya perlu diketahui oleh orang-orang di luar hadirin hari
itu. Tujuan lainnya yang penting ialah, untuk menggugah dan
memperbesar perhatian dan kepedulian pembaca, khususnya generasi muda
terhadap sejarah bangsa sendiri. Untuk banyak berfikir dan
menganalisis masalah penting ini

* * *

Mungkin akan menarik bagi pembaca tulisan ini untuk membaca sebagian
kecil kutipan dari yang ditulis
oleh Purwanto, dalam kata pengantar bukunya GAGALNYA HISTORIOGRAFI
INDONESIASENTRIS. Misalnya, dikemukakan oleh Purwanto, a.l. Sbb:

'Apakah ciri historiografi Indonesia saat ini? Kemana arah
historiografi Indonesia akan berkembang? Dua pertanyaan sederhana itu
ternyata tidak mudah untuk dijawab. Bagi sebagian orang, disorientasi
mungkin merupakan kata yang paling tepat untuk dilabelkan pada
historiagrafi Indonesia saat ini. Indonesiasentrisme yang selama ini
dianggap sebagai identitas historiografi Indonesia ternyata tidak
lebih dari sebuah label tanpa makna yang jelas, kecuali sebagai
antitesa dari kolonialsentrisme yang melekat pada historiografi yang
ada sebelumnya. Dekolonisasi yang menjadi prinsip dasar dari
Indonesiasentrisme yang merupakan cara pandang orang Indonesia tentang
masa lalunya sendiri, seolah-olah telah membangun wacana sekaligus
perspektif yang menjadikan historiografi sekedar sebagai alat
penghujat dan menggunakan masa lalu sebagai tameng pembenaran'

Tulis Purwanto selanjutnya:

''Tidak banyak yang menyadari bahwa prinsip dekolonisasi itu telah
mengakibatkan sebagian besar pemahaman tentang sejarah Indonesia
cenderung anakronis. Mereka menafikan banyak realitas yang
dikatagorikan sebagai bagian dari kultur kolonial, dan menganggap hal
itu hanya sebagai bagian dari sejarah Belanda atau sejarah para
penjajah yang tidak ada hubungannya dengan sejarah Indonesia. Padahal
sebagai sebuah proses, realitas-realitas itu sebenarnya merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah Indonesia'.

<< Dalam uraiannya pada Bedah Buku hari itu, Purwanto menambah
penjelasan. Ia mengatakan sebagai misal tentang realita peranan
kolonialisme Belanda. Salah satu segi peranan kolonialisme Belanda
ialah menjadikan Nusantara suatu kesatuan adminsitratif, ekonomi dan
politik, dan juga peranan menjadikan bahasa Melayu, menjadi bahasa
penghubung di Hindia Belanda, selain bahasa Belanda; ----- itu semua,
kata Purwanto, merupakan bahan ramuan (ingredient) dalam penyatuan
jajahan Belanda di Nusantara berkembang menjadi negeri dan bangsa
Indonesia. Seorang peserta dalam Bedah Buku punya pendapat lain. Tidak
dinyatakan dalam perdebatan, tetapi dinyatakannya kepadaku. Yaitu,
perlunya menyadari bahwa tujuan kolonialisme Belanda mempersatukan
Nusantara menjadi kesatuan administratif dan finansial serta
menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa penghubung, semata-mata
adalah untuk bisa lebih mudah mengontrol, menguasai dan
mengeksploitasi rakyat dan negeri ini.

Kata Purwanto selanjutnya dalam kata pengantar bukunya:

'Sebaliknya tradisi itu menganggap realitas-realitas lain sebagai
realitas Indonesia hanya karena sebagai masa lalu realitas itu terjadi
di Indonesia sebagai sebuah unit geografis. Padahal secara konseptual,
realitas itu tidak dapat dikatagorikan sebagai masa lalu Indonesia.
Selain itu, prinsip dekokolonisasi yang sebenarnya hanya tepat
digunakan untuk merekonstruksi masa lalu yang berkaitan dengan periode
dominasi Barat di Indonesia ternyata yang digunakan untuk
merekonstruksi masa lalu di luar periode itu, baik periode prakolonial
maupun masa pascakolonial. Cara pandang itu telah mengakibatrkan
berkembangnya historiogradi Indonesia yang menjauh dari tradisi
sejarah kritis, dan sebaliknya menghadirkan historiografi parsial yang
penuh dengan muatan politis-ideologis yang tidak mengakui keragaman
pandangan dalam konstruksi dan pemaknaan terhadap masa lalu'.

'Dari kenyataan itu tentu saja timbul pertanyaan, apakah tradisi
historiografi Indonesiasentris telah gagal merekonstruksi masa lalu
Indonesia? Seperti dua pertanyaan di atas, pertanyaan ini juga tidak
mudah untuk dijawab. Mengatakan Indonesiasentrisme gagal secara
keseluruhan tentu saja berlebihan, karena sampai tingkat tertentu
historiografi ini telah berhasil menghadirkan unsur keindoneisaan baik
sebagai aktor masa lalu mapun perspektif dalam konstsruksi dan makna
yang dibangun. Sementara itu berbeda dengan perkiraan banyak orang,
buku Sejarah Nasional Indonesia yang banyak dikritik itu pun
sebenarnya mampu menghadirkan secara konseptual prinsip keindonesiaan
yang dilandasi oleh kaedah keilmuan. Periodisasi dan kerangka berfikir
teoritik konseptual yang dirumuskan secara jelas oleh editor utama
yang dimotori oleh Sartono Kartodirdjo, menunjukkan kematangan
intelektual daripada sekedar emosional, terlepas dari persoalan yang
ada, terutama pada jilid 6 dan keberajaan jilid 7 yang terkesan
malu-malu'.

* * *
Jelas kiranya, sebaiknya pembaca berusaha memperoleh buku tsb dan
membacanya sendiri dari awal sampai akhir, sehingga mengerti betul apa
yang dimaksud Purwanto dengan analisisnya bahwa Historiografi
Indonesiasentris telah gagal.

* * *

Hadir dalam Bedah Buku Bambang Purwanto, punya manfaat penting bagiku,
kiranya demikian juga untuk para hadirin lainnya. Kegiatan seperti
itu, menggugah dan mendorong kita untuk lebih banyak membaca dan
ambil bagian dalam pemikiran dan penelitian sejarah bangsa kita.
Masing-masing menurut kemampuan dan kondisinya sendiri. Namun, perlu
ada fokus. Antara lain, tema yang masih dalam proses pendiskusian dan
perdebatan hangat, khususnya yang menyangkut periode dimulainya rezim
Orba.

Kenyataan yang ada di hadapan mata, ialah bahwa, selama lebih dari 30
tahun, pencatatan, pendokumentasian serta penulisan sejarah bangsa,
telah benar-benar diputar-balikkan, diplintir untuk menggunakan
istilah Gus Dur. Sejarah bangsa telah dijungkir balikkan. Kaki di atas
kepala di bawah. Suatu 'isu' yang didasarkan atas dusta, kebohongan
dan fitnah semata-mata, seperti yang diberitakan, berhari-hari,
berminggu-minggu, terus menerus oleh media Angkatan Darat ketika
itu, mengenai apa yang dikatakan sebagai 'kekejaman dan kebiadaban'
anggota-anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat di Lubang Buaya terhadap
para jendral AD yang diculik, telah direkayasa dan disulap menjadi
kebenaran. Kebenaran Orba. Gawat dan tragisnya ialah bahwa kebohongan
dan rekayasa ini akhirnya benar-benar dianggap sebagai satu-satunya
kebenaran, sebagai fakta sejarah. Bukankah kebohongan ini yang menjadi
pembenaran dan legalisasi dimulainya, pengejaran besar-besaran,
penangkapan besar-besaran serta pembantaian masal terhadap
orang-orang yang tak bersalah, terdiri terutama dari anggota PKI,
orang Kiri dan yang diduga PKI atau Kiri, atau pendukung Presiden Sukarno?

Dimanipulasinya oleh penguasa Orba, --- disulapnya suatu fiksi
menjadi fakta, menjadikannya suatu fakta sejarah, yang dianggap pula
sebagai kebenaran umum sejarah, ---- bukankah ini manipulasi fakta
sejarah yang perlu dikoreksi?

Diungkapkannya kebenaran dan keadilan mengenai peristiwa 1965,
pelanggaran HAM terbesar yang pernah terjadi di dalam sejarah bangsa,
dengan demikian mengakhiri segala diskriminasi, marginalisasi dan
stigmatisasi terhadap jutaan korban 1965 berserta keluarga mereka yang
masih hidup sekarang ini,. ---- bukankah ini yang menjadi salah satu
tugas penting bangsa kita, dan dengan demikian juga mejadi tugas
penting para sejarawan kita?

Betapapun menegakkan kebenaran dalam sejarah bangsa kita adalah urusan
kita semua.
Usaha Rekonsiliasi Nasional atas dasar Kebenaran dan Keadilan tak akan
bisa dicapai, bilamana fakta-fakta sejarah yang telah dimanipulasi
oleh rezim Orba tidak dikoreksi.
Selama itu belum dikoreksi, tak terhindarkan hal itu akan selalu
merupakan api dalam sekam.

Itulah pula sebabnya mengapa penulisan sejarah bangsa seyogianya
dilakukan oleh seluruh masyarakat. Tentu para pakar dan sejarawan
punya peranan penting dan terkemuka. Namun, tanpa kepedulian dan
keikutsertaan masyarakat, media, lapisan cendekiawan yang luas, tujuan
untuk bisa belajar dari sejarah bangsa kita, sulit untuk tercapai.

* * *

Wednesday, July 05, 2006

Crah Agawe Bubrah, Rukun Agawe Santoso:
"Bencana Gempa Tektonik yang melanda Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tanggal 27 Mei 2006 telah menimbulkan efek yang sangat signifikan terhadap urat nadi kehidupan masyarakatnya. Kerusakan fisik, trauma, dan hubungan relasi sosial yang terkoyak telah menjadi konsekuensi dari sebuah bencana yang sudah seharusnya segera dibenahi dan ditata kembali. Melalui bakti sosial peduli gempa yang akan dilakukan di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulonprogo, dan Kabupaten Bantul dengan tema Crah agawe Bubrah, Rukun Agawe Santoso bisa menjadi bangunan kecil yang mampu membangkitkan semangat gotong royong untuk bangkit secara bersama mengatasi bencana dengan tujuan yang diharapkan:"

Saturday, July 01, 2006

Rumah tahan Gempa di Basen: "YOGYA (KR) - Korban gempa bumi yang kehilangan tempat tinggal cukup mendapat perhatian dari berbagai pihak. Meskipun belum permanen, Syarikat Indonesia pun ikut membangun rumah transisi dari tenda ke rumah tinggal dengan desain dirancang oleh arsitek Herry Susanta ST dan Iwan Rosana ST. Program yang diberi nama ‘Mandiri Bangun Kembali’ ini difokuskan untuk keluarga miskin di wilayah Bantul, Kota Yogya, dan Sleman dan dilakukan bekerjasama dengan LKiS, Banser GP Ansor Kota Yogya, Karang Taruna Propinsi DIY, arsitek, serta psikolog.

“Program ini intinya untuk membangun kemandirian bersama membangun rumah sendiri. Ada sepuluh titik yang kami garap,” kata Iman Azis, direktur Syarikat Indonesia, Jumat (9/6).

Kesepuluh titik itu berada di wilayah Purbayan Kotagede dan Pandeyan Umbulharjo (Yogya), Srimulyo Piyungan, Bangunjiwo Kasihan, Panggungharjo Sewon, Bambanglipuro, Jambidan Banguntapan, Wukirsari Imogiri, Trimulyo (Bantul), serta Sendangtirto Berbah (Sleman).

Menurut Imam Aziz, sejak Senin (5/6), Syarikat bersama 50 anggota Banser dan masyarakat mengadakan kerja "

Thursday, June 29, 2006

Diculke ndhase, digondeli buntute: "Kita berdiri di negri yang (katanya) menjunjung tinggi hak hakiki setiap pribadi. Kita menghirup udara negri yang (katanya) menjunjung tinggi kemanusiaan. Dan kita bernaung di bawah atap langit negri yang (katanya) berpaham demokrasi. Tapi faktanya? Diskriminasi masih saja terjadi. Demokrasi, kesetaraan dan kemanusiaan menjadi kata yang tanpa makna."
Indonesian Global Healing: "Konferensi Internasional Global Healing II Indonesia Session Ubud Bali, 3-8 Mei 2006 Laporan: Pipit Ambarmirah Pada tanggal 3-8 Mei 2006 berlangsung acara Global Healing di Bali yang diikuti oleh peserta dari seluruh dunia. Ini adalah acara Global Healing kedua yang dilakukan di Indonesia, tetapi untuk sesi khusus Indonesia adalah yang pertama kali dan dikoordinir oleh P3I (Pusat Partisipasi Perempuan Indonesia). Sesi Indonesia dijadwalkan pada tanggal 5 dan 6 Mei 2006. Peserta dari Indonesia berjumlah 19 orang sudah termasuk panitianya. Peserta dari Indonesia berasal dari berbagai propinsi misalnya Yogyakarta, Jakarta, Aceh, Ambon, Atambua, Papua, Sulawesi, Sumatra, Bali dan lain-lain."
Peran Ulama: "PERAN ULAMA DALAM REKONSILIASI BANGSA Salahuddin Wahid Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Kalau kita dilukai atau disakiti orang lain, naluri kita bangkit untuk membalasnya. Kalau bisa luka balasan lebih dalam dan lebih parah daripada apa yang kita derita. Luka itu baru sembuh kalau si penjahat menerima hukumannya. Perasaan dendam itu terus berada didalam diri kita selama si penjahat tidak atau belum mendapat hukuman yang setimpal."
Living with a spectre of the past: "Traumatic Experiences among Wives of Former Political Prisoners of the ‘1965 Event’ in Indonesia Budiawan SanataDharmaUniversity Introduction Like the end of most authoritarian rulers elsewhere, the fall of Suharto in Indonesia has opened an opportunity for the survivors of the past political violence to break their silence publicly. Of those who have taken the chance to articulate their sense of self are former political prisoners of the ‘1965 Event’ (or eks-tapol in the popular Indonesian term). They have expressed their claim as victims, instead of perpetrators, of the past tragedy. Such an expression appears in memoirs, autobiographies or other forms of self-narrative booming since several months after Suharto stepped down in May 1998, [1] and the formation of some organizations among them. [2] The primary objective of these self-articulations is to seek a public recognition of their truth claims of the past, in order to release their burden of the past."
Pengaduan ke Komnas Perempuan: "PENGADUAN PEREMPUAN KORBAN TRAGEDI 1965 KEPADA KOMISI NASIONAL ANTI-KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Jakarta, 29 Mei 2006 Para Anggota Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan yang kami hormati, Pertama-tama kami ucapkan terimakasih atas kesediaan Para Komisioner menerima delegasi kami pada hari ini."
Mandiri Bangun Kembali: "Posko Mandiri Bangun Jogjakarta Syarikat Indonesia Perum. Demakan Baru TR III/757 Yogyakarta Telp. 0274 620247 www.syarikat.org BANGKIT MANDIRI BANGUN KEMBALI “Membangun kemandirian, bersama membangun rumah sendiri”"